Header Ads

Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan Kesejahteraan Masyarakat

Oleh Faridh Almuhayat Uhib H., S.Hut.
Direktur Garuda Sylva (Garsy) Lampung 2010–2012; Koordinator FK3I Lampung 2010–2014; dan Wakil Sekretaris DPD KNPI Provinsi Lampung 2010–2013

Hutan sebagai karunia Tuhan menjadi bagian dari kehidupan manusia untuk menjadi solusi pemenuhan kebutuhan manusia, baik berupa hasil hutan kayu, nonkayu, dan jasa lingkungan yang dapat nikmati oleh manusia. Karena itu, negara (state) harus dapat mengatur kekayaan alamnya (termasuk hutan) yang dimiliki untuk digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyatnya. 

PEMERINTAH Indonesia mencanangkan program hutan kemasyarakatan (HKm) yang hingga kini melalui proses perjuangan sangat panjang. Sehingga menghasilkan sebuah pengakuan terhadap masyarakat yang dahulunya diberi label perambah dan sekarang menjadi mitra pemerintah dalam mengelola kawasan hutan, khususnya hutan lindung.

Harapan bersama bahwa dengan adanya program itu, hutan tetap lestari dan masyarakat dapat bertambah kesejahteraannya. Hal ini menjadi slogan di mana-mana, sehingga program HKm untuk meningkatkan pendapatan rakyat (pro poor), menciptakan lapangan kerja (pro job), menumbuhkan investasi industri berbasis kayu rakyat (pro growth), serta mampu mempercepat rehabilitasi lahan kritis dan perbaikan mutu lingkungan (pro environment) dapat tercapai.

Kini yang menjadi tantangan, apakah program itu benar-benar mampu mengemban tugas berat yaitu menyeimbangkan kelestarian hutan serta permasalahan kesejahteraan masyarakat sekitar dan di dalam hutan?

Di satu sisi, program HKm dengan fakta adanya pengurangan areal berhutan menjadi areal garapan HKm menjadi keprihatinan sendiri karena hancurnya kawasan hutan yang masih ’’perawan’’. Kawasan yang seharusnya menjadi zona lindung di areal HKm berubah menjadi lahan garapan. Jika terus dibiarkan, makhluk lainnya seperti satwa-satwa dilindungi dan tanaman-tanaman yang selama ini terlindung di kawasan hutan akan punah begitu saja. Akan tetapi, di sisi lain, permasalahan kesejahteraan masyarakat menjadi alasan bagi keberlanjutan hidup mereka perlu menjadi perhatian tersendiri untuk segera dijawab dan ditindaklanjuti. Sehingga ke depan tidak ada ketimpangan mengenai program HKm yang dicanangkan oleh pemerintah dengan luas izin usaha pemanfaatan Hkm secara nasional baru mencapai 46.435 hektare dari yang sudah ditetapkan oleh menteri kehutanan seluas 186.931 hektare ini.

Sebagai contoh, keberhasilan pelaksanaan HKm di Menangajaya, Waykanan, Lampung. Pengelolaan HKm di daerah itu dilakukan oleh 679 orang pada hutan seluas 1.003 hektare. Pada awalnya, vegetasi yang ada didominasi oleh tanaman kopi. Lewat pengelolaan HKm, vegetasi secara perlahan berubah menjadi tanaman karet yang memberikan dampak ekologis yang lebih baik.

Pendapatan masyarakat pun meningkat dari awalnya yang mengandalkan kopi sebesar Rp15 juta per tahun menjadi Rp78 juta per tahun dengan vegetasi yang kini didominasi karet. Apakah hal ini sebagai bentuk kebetulan dari hasil social forestry? Saya pikir tidak, karena butuh proses panjang untuk meyakinkan masyarakat bahwa hutan dapat menjadi bagian dari penopang kesejahteraan mereka.

Dalam konteks ini, perlu digarisbawahi bahwa kawasan hutan lindung yang dijadikan tempat untuk pelaksanaan HKm juga memiliki fungsi penting bagi sistem penyangga kehidupan sehingga perlu dijaga dan dilestarikan untuk mendapatkan hasil yang optimal sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Maka perlu adanya kontrol dan evaluasi yang sustainable dalam pelaksanaan HKm di lapangan agar tidak salah sasaran. Target yang seharusnya menyeimbangkan dua kebutuhan (hutan lestari dan masyarakat sejahtera) justru akan menjadi berbalik (hutan rusak dan masyarakat semakin miskin) karena kelengahan pemerintah serta stakeholder lainnya di tengah-tengah euforia penyuksesan program HKm.

Kita perlu belajar dari pengalaman yang lalu, ketika bangsa-bangsa yang kini mengalami kemajuan pesat adalah hasil dari rekayasa terdesaknya kebutuhan sumber daya alam dan lahan dengan kebutuhan hidupnya yang semakin meningkat. Sehingga, mereka berpikir dan melakukan inovasi-inovasi untuk mencukupinya. Bangsa kita juga harus segera mengambil pelajaran penting dari mereka, yaitu jangan sampai sumber daya alam yang melimpah justru masyarakatnya semakin miskin. Akankah kita akan berpangku tangan menunggu sumber daya alam kita rusak terlebih dahulu kemudian kita baru mulai akan bertindak? Tentu saja hal itu tidak kita inginkan agar bangsa kita tetap menjadi bangsa yang kuat dan mandiri dengan ditopang sumber daya alam, khususnya hutan, yang masih tersisa ini. (*)

Diterbitkan di Koran harian Radar Lampung Selasa, 10 Juli 2012 | 22:13 WIB

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.