Header Ads

NILAI RIMBAWAN YANG HARUS DIKEMBALIKAN

    Sangat tercengang ketika kita berdiskusi tentang profesi sebagai rimbawan. Keprihatinan terhadap para rimbawan-rimbawan muda yang semakin menjauh dari etika dan budaya sebagai rimbawan. Terkadang keprihatinan tersebut tidak dibarengi dengan pemahaman bersama dan akar masalah yang sama.
    Akar masalahnya yaitu penanaman nilai-nilai rimbawan yang semakin luntur. Banyak cara menanamkan nilai-nilai tersebut. Supaya mendapatkan nilai itu harus melalui proses yang tidak mudah dan menjunjung tinggi jiwa korsa rimbawan. Akan tetapi, keterbatasan pasti ada baik berupa fasilitas maupun sistem di jajaran birokrasi.
    Dimulai dari kata rimbawan, kemudian kita bertanya apakah dosen juga rimbawan? Sebab, dosen saat ini hanya berpaku pada science atau ilmu pengetahuan kehutanan tanpa ada aplikasinya dan menganggap sumber daya rimbawan lokal menganggap rendah daripada dirinya. Itu yang tidak diinginkan. Para sesepuh rimbawan mengajarkan kita berbagai ilmu pengetahuan tentang kehutanan yang dibarengi dengan jiwa juga rasa cinta terhadap profesi sebagai rimbawan, dan itu butuh proses lama.
    Rimbawan memang butuh pengaderan. Sebab, proses itulah yang harus dilalui agar mendapatkan nilai-nilai dari rimbawan. Sebagai seorang senior, harus memberikan pemahaman berbeda antara yang akan dan sudah melalui proses pengaderan sebagai rimbawan.
    Bukan berarti sama antara yang baru mengikuti proses pengaderan dengan yang sudah. Bedanya yaitu yang baru belum mendapat nilai tentang rimbawan, dan sebaliknya. Saat ini banyak orang yang mengikuti proses pengaderan tetapi belum mendapatkan nilai-nilai dari rimbawan itu sendiri.
    Seluruh Indonesia bahkan dunia memiliki pemahaman yang sama tentang nilai-nilai rimbawan, tapi proses pencapaian tersebut yang berbeda-beda. Ada melalui tahap-tahap yang telah ditentukan menjadi seorang rimbawan bahkan mendapatkannya secara turun-temurun. Rimbawan merupakan seseorang yang memiliki latar pendidikan kehutanan atau pengalaman di bidang kehutanan dan terkait 10 norma dalam kode etik rimbawan. Jika menanamkan kode etik tersebut dalam pengaderan, saya pikir tidak ada yang namanya lunturnya nilai-nilai rimbawan. Terkadang saya sangat heran dengan orang kehutanan yang mengatakan saya sebagai rimbawan, tetapi proses mencapai nilainya tidak dilalui. Mereka merasa melalui tetapi hanya sekejap, tidak mau dengan susah, perjuangan, dan bersama-sama senasib sepenanggungan. Aneh, itulah kata yang didapat untuk mereka.
    Rimbawan harus memiliki tanggung jawab yang tinggi, baik terhadap hutan maupun pengaderan sumber daya manusianya. Siapa lagi yang akan menyelamatkan hutan kita kecuali kemauan dan kerja keras rimbawan. Maka, dibutuhkan suatu perjuangan yang nilainya telah ditanamkan secara dini oleh para rimbawan senior atau memiliki pengalaman.
    Karena saya sebagai rimbawan berpandangan, civitas akademika kehutanan harus menyadari bahwa salah satu cara untuk mengader sebagai rimbawan melalui proses pengaderan. Baik ditingkatan mahasiswa maupun dosen yang kedua-duanya saling berhubungan (simbiosis mutualisme) karena senasib dan sepenanggungan yaitu bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya hutan dan lingkungan di masa yang akan datang. Maka, pengaderan di tataran mahasiswa harus menanamkan nilai-nilai rimbawan terhadap para mahasiswa baru yang diejawantahkan ke dalam proses pengaderan dan harus dilewati.
Begitu juga sebagai dosen, harusnya pengaderan sebagai rimbawan yang berprofesi sebagai dosen memiliki nilai-nilai yang mengedepankan etika sebagai rimbawan. Jangan sampai terjadi miskomunikasi antara yang satu dengan lainnya. Kini pembatasan antara pengaderan di tataran mahasiswa kehutanan sangat terasa, dan suara mahasiswa murni menginginkan kader-kader rimbawan ke depan lebih baik maka melalui proses tersebut. Dipupuknya nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan antara satu dengan lainnya merupakan salah satu nilai yang harus ditanamkan, dan itu tidak mudah. Membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan nilai tersebut. Tetapi proses lain harus diikuti juga.
    Sekarang harus disadari perlunya pengaderan rimbawan yang utuh, sebenarnya nilai-nilai rimbawan semua sama. Tetapi cara mendapatkannya di berbagai daerah berbeda-beda. Karena kultur dan budaya yang berbeda-beda. Oleh sebab itu, butuh pemahaman bersama untuk mengembalikan nilai-nilai rimbawan yang kini di ambang kepunahan. Maka, tidak ada lagi kata bahwa pengaderan di mahasiswa kehutanan tidak manusiawi, tidak ada manfaatnya, tidak punya esensi, mendidik sebagai pecundang, dan lain-lain. Hilangkan itu semua. Satu kata kita semua saudara dan harus berkomitmen terhadap kelestarian hutan kita. (*)

*) Alumni Kehutanan Unila/Koordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia (FK3I) Daerah Lampung 2010-2014

6 komentar:

  1. Ini merupakan oto kritik bagi para pelaku kehutanan yang saat ini sedang mengalami lunturnya nilai-nilai persaudaraan.
    Mohon masukan, kritik dan saran.

    salam

    FARIDH

    BalasHapus
  2. sepertinya yang dismapaikan di atas sudah menggambarkan sekali apa yang saya lihat saat ini...

    BalasHapus
  3. Masih hidupkan organisasi SYLVA INDONESIA ? ? ?

    BalasHapus
  4. Melissa : Iya bisa menjdi gt jika dirasakan.

    Syaiful : Masih bang, di Mkasr Sekjennya skrng.

    BalasHapus
  5. Berharap terlalu jauh pada sosok ideal Rimbawan mungkin perlu juga dikoreksi, agar Sang Rimbawan tidak merasa menjadi “Aku” dalam konteks bangunan keberhalaan yang dia bangun sendiri, baik berupa sistem maupun tradisi, sebab semua yang melekat pada diri Rimbawan itu masih merupakan persoalan. Dan dalam Kode Etik dan Etika itu, sesungguhnya mengandung kesangsian bahwa Sang Rimbawan dapat menghasilkan karya yang mengagumkan. http://hutan-tersisa.blogspot.com/2012/06/oto-kritik-rimbawan-indonesia.html#more

    BalasHapus
  6. Itu picture nya lucu kalee..��,.. itu ukur diameter pohon ??

    BalasHapus

Diberdayakan oleh Blogger.