NEGERI LANGGANAN BENCANA (OPINI)
Oleh Faridh AL-Muhayat Uhib H. (Kordinator Forum Komunikasi Kader Konservasi Daerah Lampung 2010–2014)
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, sehingga negara kita memiliki dua musim yaitu penghujan dan kering. Tidak dipungkiri mengapa kita memiliki dua musim tidak seperti pada negara-negara lain di benua Eropa, Afrika, serta Amerika yang memiliki beberapa musim yaitu salju, semi, dan panas. Karena negara kita terletak di garis katulistiwa dengan diapit dua benua, yaitu Asia dan Australia, serta dua samudera, yakni Hindia dan Pasifik.
DENGAN kondisi geografis yang beraneka ragam dari dataran randah hingga tinggi sehingga menjadikan negara kita berbukit-bukit yang memanjang dan kaya sumber daya alam. Mulai perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, bahkan pertambangan yang orang Jawa menyebutnya ’’gemah ripah loh jinawi’’.
Siklus hidrologi yang memutar kehidupan di bumi salah satunya yaitu hutan. Hutan merupakan hamparan lahan yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan, tumbuhan-tumbuhan, serta hewan beserta ekosistemnya yang masing-masing memiliki aneka fungsi dan manfaat bagi makhluk hidup untuk melangsungkan kehidupan. Hutan juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai fungsi ekonomi, sosial, dan budaya yang tinggi.
Pertumbuhan dan perkembangan jumlah penduduk di muka bumi mendesak kebutuhan manusia semakin meningkat, sehingga perubahan paradigma berpikir mulai berubah. Dengan dimulainya revolusi industri yang mengeruk sumber daya alam secara besar-besaran untuk dijadikan bahan baku utama tanpa mengabikan dampak terhadap lingkungan, menyebabkan perubahan kondisi lingkungan, baik mikro maupun makro, secara drastis.
Indonesia merupakan negara berkembang. Di mana, transisi untuk menjelma menjadi sebuah negara maju dan berdaulat terus mencari bentuk-bentuk yang sesuai kondisi alam. Walau, sekarang ini negara kita telah sakit dilanda banyak bencana alam yang menurut hemat penulis kurang adanya perhatian khusus terhadap lingkungan.
Bencana alam di negara kita bagaikan penjual yang mempunyai langganan khusus untuk diperjualbelikan dagangannya. Bagaimana tidak, kita cermati dari tahun ke tahun ketika musim kering, banyak terjadi kekeringan di mana-mana. Tidak hanya di pulau Jawa, tapi juga seluruh tanah air.
Ketika musim penghujan, kita sering dilanda bencana banjir dan longsor yang menelan banyak korban bahkan kerugian materiil. Itu pun bukan hanya di daerah sering banjir, tapi juga yang tidak. Dan, orang menyebutnya ’’banjir kiriman’’.
Banjir misalnya di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi yang memiliki rapor merah dalam bencana alam. Kemudian disusul tanah longsor yang sering terjadi di dataran tinggi yang kini disulap menjadi perumahan serta vila yang tumbuh pesat bak jamur pada musim penghujan. Perlu dipertanyakan, apakah ini sebuah fenomena biasa? Ataukah ada salah satu fungsi kontrol (control function) dari alam mulai menghilang, ’’hutan’’?
Mendengar dan melihat dari berita pada beberapa layar televisi mengenai banjir dan tanah longsor sangat menarik sekali. Sebab, hal ini akan memancing semangat kita untuk mendiskusikan mulai dari bertanya apa penyebabnya, mengapa bisa terjadi, di mana kejadiannya, siapa yang menjadi korban, bagaimana mengatasinya, dan seribu pertanyaan akan keluar untuk membincangkan masalah tersebut. Kebanyakan menjawab karena faktor drainase yang kurang bagus dan banyak sampah, sehingga terjadi banjir. Banyak juga yang mengatakan karena hutan kita sudah rusak parah. Kalau penulis bersudut pandang dari satu sisi, benar bahwa hutan kita sudah rusak parah.
Kita pelajari bersama, hutan memiliki fungsi hirologis. Di mana, hutan menyimpan cadangan air pada waktu musim kering dan melepaskan secara perlahan-lahan sehingga menjadi sumber-sumber air. Ketika musim penghujan, hutan menahan air hujan yang turun langsung ke tanah dengan melalui dedaunan, ranting, cabang, batang yang kemudian air mengalir perlahan ke tanah. Ada pula air yang langsung ke tanah dengan mengenai tumbuhan bawah dan serasah-serasah, sehingga air perlahan-lahan dimasukkan ke tanah. Di dalam tanah, air mengalami penyimpanan melalui tanah humus, akar, hingga suatu saat akan mencapai titik jenuh. Maka, air dilepaskan perlahan-lahan untuk dijadikan sumber air.
Makanya, tidak heran jika air sungai yang mengalir sepanjang tahun dari hutan tidak pernah mengering. Kita ketahui bahwa air sumber kehidupan. Hutan lah yang mempunyai peran penting untuk menjaga kestabilan alam kita ini.
Bagaimana jika hutan kita rusak? Tidak bisa dibayangkan dampaknya, baik secara ekologis, ekonimis, maupun sosial. Secara ekologis, kita kehilangan fungsi hutan yang menjaga kestabilan alam, terjadi kekurangan air di musim kering, sumber-sumber mata air mengering, kebakaran hutan dan lahan, suhu udara meningkat, fauna banyak yang mati dan punah, pada musim penghujan terjadi run off, kesuburan tanah menghilang, penyimpanan air dalam tanah mulai mengurang, erosi tanah terus terjadi, terjadi logsor, debit air meningkat drastis sehingga air sungai meluap tiba-tiba, sumber plasma nuthfah menghilang.
Banyak kerugian khususnya banjir yang saat sedang melanda di berbagai daerah. Siaran berita Fokus di Indosiar dan Selamat Pagi di Trans 7 pada Jumat, 26 Desember 2008, memberikan sebuah tayangan menarik. Di Kaltim terjadi banjir besar sehingga puluhan rumah warga terendam 1–2 meter. Salah satu bandara terendam air hingga 1 meter terpaksa jadwal penerbangan dihentikan dan mengalami kelumpuhan akibat banjir. Di Muaraenim, Sumsel, banjir menggenangi rumah warga hingga 3 meter akibat meluapnya air sungai. Akibatnya perekonomian lumpuh serta aksesbilitas mengalami gangguan.
Belum lama dari berita tersebut, di Bandarlampung, tepatnya 18 Desember 2008, juga mengalami hal sama dan luar biasa. Hujan turun sangat lebat, sehingga air sungai mengalami peningkatan yang tinggi dan alirannya pun menjadi deras sehingga di kota terjadi banjir hingga merendamkan rumah warga dan fasilitas umum seperti Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hi. Abdul Moeloek (RSUDAM). Bahkan menelan korban jiwa.
Potret-potret tersebut seharusnya menjadikan sebuah pembelajaran dan bahan koreksi bagi masyarakat di perkotaan, pedesaan, sekitar hutan, bahkan tingkatan pemerintah bahwa kejadian tersebut merupakan fakta dari kelengahan manusia dalam menjaga lingkungan sekitar dan membiarkan kondisi hutan kita rusak.
Apa yang akan terjadi ketika sebuah masyarakat tidak mau peduli terhadap lingkungan kita, dengan membuang sampah sembarangan, sungai dijadikan tempat buangan berbagai jenis limbah dan kotoran, ditebangnya pepohonan karena dianggap mengganggu pemandangan, serta berbagai alasan menyalahkan kehidupan di luar manusia untuk dijadikan komoditi bagi manusia dalam meraih kepuasan juga keuntungan dengan tidak memperhatikan lingkungan. Kemudian di daerah pegunungan; hulu sungai; hutan-hutan mulai dirambah; pepohonanan mulai ditebang untuk digantikan dengan tanaman semusim; serta lahan dikonversi menjadi perkebunan, perumahan, vila, betonisasi wilayah terbuka, dan lain-lain.
Dampaknya kita lihat apa yang terjadi ketika alam berbicara saat ini dengan adanya musim penghujan? Perlu diingat bahwa negara kita megalami musim kering dan penghujan. Serta, masing-masing mempuyai jawaban dari ulah manusia yang serakah terhadap hutan dan lingkungan tempat kita hidup ini.
Perlunya pengelolaan hutan secara berkelanjutan (sustainable forest management) dengan melibatkan masyarakat dan pihak-pihak yang terait dalam pengelolaan hutan, ekplorasi sumber daya alam yang tidak berlebihan, serta penegakan hukum dengan benar memberikan solusi bagi bencana yang terjadi saat ini. Menurut Hariadi Kartodiharjo dalam bukunya Di Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam memandang bahwa berdasarkan peraturan perundangan yang telah diberlakukan, kerangka pemikiran yang digunakan untuk menetapkan kebijakan pelestarian hutan adalah dengan menetapkan hutan (natural capital) sebagai faktor utama. Dalam hal ini hutan dikonsepsikan sebagai suatu ekosistem yang mempunyai fungsi alami serta bergantung dari tipe ekologis dan karakteristik hubungan makhluk hidup yang ada di dalamnya. (*)
Penulis Juga Tercatat sebagai
Sekretaris Jenderal Sylva Indonesia 2008–2010
Direktur Eksekutif Lembaga Garuda Sylva (Garsy) for Conservation, Environment, and Community Development
diterbitkan di harian Radar Lampung 17 Januari 2011
http://www.radarlampung.co.id/read/opini/29169-negeri-langganan-bencana-
Indonesia merupakan negara yang beriklim tropis, sehingga negara kita memiliki dua musim yaitu penghujan dan kering. Tidak dipungkiri mengapa kita memiliki dua musim tidak seperti pada negara-negara lain di benua Eropa, Afrika, serta Amerika yang memiliki beberapa musim yaitu salju, semi, dan panas. Karena negara kita terletak di garis katulistiwa dengan diapit dua benua, yaitu Asia dan Australia, serta dua samudera, yakni Hindia dan Pasifik.
DENGAN kondisi geografis yang beraneka ragam dari dataran randah hingga tinggi sehingga menjadikan negara kita berbukit-bukit yang memanjang dan kaya sumber daya alam. Mulai perikanan, pertanian, perkebunan, kehutanan, bahkan pertambangan yang orang Jawa menyebutnya ’’gemah ripah loh jinawi’’.
Siklus hidrologi yang memutar kehidupan di bumi salah satunya yaitu hutan. Hutan merupakan hamparan lahan yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan, tumbuhan-tumbuhan, serta hewan beserta ekosistemnya yang masing-masing memiliki aneka fungsi dan manfaat bagi makhluk hidup untuk melangsungkan kehidupan. Hutan juga memiliki fungsi lain yaitu sebagai fungsi ekonomi, sosial, dan budaya yang tinggi.
Pertumbuhan dan perkembangan jumlah penduduk di muka bumi mendesak kebutuhan manusia semakin meningkat, sehingga perubahan paradigma berpikir mulai berubah. Dengan dimulainya revolusi industri yang mengeruk sumber daya alam secara besar-besaran untuk dijadikan bahan baku utama tanpa mengabikan dampak terhadap lingkungan, menyebabkan perubahan kondisi lingkungan, baik mikro maupun makro, secara drastis.
Indonesia merupakan negara berkembang. Di mana, transisi untuk menjelma menjadi sebuah negara maju dan berdaulat terus mencari bentuk-bentuk yang sesuai kondisi alam. Walau, sekarang ini negara kita telah sakit dilanda banyak bencana alam yang menurut hemat penulis kurang adanya perhatian khusus terhadap lingkungan.
Bencana alam di negara kita bagaikan penjual yang mempunyai langganan khusus untuk diperjualbelikan dagangannya. Bagaimana tidak, kita cermati dari tahun ke tahun ketika musim kering, banyak terjadi kekeringan di mana-mana. Tidak hanya di pulau Jawa, tapi juga seluruh tanah air.
Ketika musim penghujan, kita sering dilanda bencana banjir dan longsor yang menelan banyak korban bahkan kerugian materiil. Itu pun bukan hanya di daerah sering banjir, tapi juga yang tidak. Dan, orang menyebutnya ’’banjir kiriman’’.
Banjir misalnya di wilayah Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi yang memiliki rapor merah dalam bencana alam. Kemudian disusul tanah longsor yang sering terjadi di dataran tinggi yang kini disulap menjadi perumahan serta vila yang tumbuh pesat bak jamur pada musim penghujan. Perlu dipertanyakan, apakah ini sebuah fenomena biasa? Ataukah ada salah satu fungsi kontrol (control function) dari alam mulai menghilang, ’’hutan’’?
Mendengar dan melihat dari berita pada beberapa layar televisi mengenai banjir dan tanah longsor sangat menarik sekali. Sebab, hal ini akan memancing semangat kita untuk mendiskusikan mulai dari bertanya apa penyebabnya, mengapa bisa terjadi, di mana kejadiannya, siapa yang menjadi korban, bagaimana mengatasinya, dan seribu pertanyaan akan keluar untuk membincangkan masalah tersebut. Kebanyakan menjawab karena faktor drainase yang kurang bagus dan banyak sampah, sehingga terjadi banjir. Banyak juga yang mengatakan karena hutan kita sudah rusak parah. Kalau penulis bersudut pandang dari satu sisi, benar bahwa hutan kita sudah rusak parah.
Kita pelajari bersama, hutan memiliki fungsi hirologis. Di mana, hutan menyimpan cadangan air pada waktu musim kering dan melepaskan secara perlahan-lahan sehingga menjadi sumber-sumber air. Ketika musim penghujan, hutan menahan air hujan yang turun langsung ke tanah dengan melalui dedaunan, ranting, cabang, batang yang kemudian air mengalir perlahan ke tanah. Ada pula air yang langsung ke tanah dengan mengenai tumbuhan bawah dan serasah-serasah, sehingga air perlahan-lahan dimasukkan ke tanah. Di dalam tanah, air mengalami penyimpanan melalui tanah humus, akar, hingga suatu saat akan mencapai titik jenuh. Maka, air dilepaskan perlahan-lahan untuk dijadikan sumber air.
Makanya, tidak heran jika air sungai yang mengalir sepanjang tahun dari hutan tidak pernah mengering. Kita ketahui bahwa air sumber kehidupan. Hutan lah yang mempunyai peran penting untuk menjaga kestabilan alam kita ini.
Bagaimana jika hutan kita rusak? Tidak bisa dibayangkan dampaknya, baik secara ekologis, ekonimis, maupun sosial. Secara ekologis, kita kehilangan fungsi hutan yang menjaga kestabilan alam, terjadi kekurangan air di musim kering, sumber-sumber mata air mengering, kebakaran hutan dan lahan, suhu udara meningkat, fauna banyak yang mati dan punah, pada musim penghujan terjadi run off, kesuburan tanah menghilang, penyimpanan air dalam tanah mulai mengurang, erosi tanah terus terjadi, terjadi logsor, debit air meningkat drastis sehingga air sungai meluap tiba-tiba, sumber plasma nuthfah menghilang.
Banyak kerugian khususnya banjir yang saat sedang melanda di berbagai daerah. Siaran berita Fokus di Indosiar dan Selamat Pagi di Trans 7 pada Jumat, 26 Desember 2008, memberikan sebuah tayangan menarik. Di Kaltim terjadi banjir besar sehingga puluhan rumah warga terendam 1–2 meter. Salah satu bandara terendam air hingga 1 meter terpaksa jadwal penerbangan dihentikan dan mengalami kelumpuhan akibat banjir. Di Muaraenim, Sumsel, banjir menggenangi rumah warga hingga 3 meter akibat meluapnya air sungai. Akibatnya perekonomian lumpuh serta aksesbilitas mengalami gangguan.
Belum lama dari berita tersebut, di Bandarlampung, tepatnya 18 Desember 2008, juga mengalami hal sama dan luar biasa. Hujan turun sangat lebat, sehingga air sungai mengalami peningkatan yang tinggi dan alirannya pun menjadi deras sehingga di kota terjadi banjir hingga merendamkan rumah warga dan fasilitas umum seperti Rumah Sakit Umum Daerah dr. Hi. Abdul Moeloek (RSUDAM). Bahkan menelan korban jiwa.
Potret-potret tersebut seharusnya menjadikan sebuah pembelajaran dan bahan koreksi bagi masyarakat di perkotaan, pedesaan, sekitar hutan, bahkan tingkatan pemerintah bahwa kejadian tersebut merupakan fakta dari kelengahan manusia dalam menjaga lingkungan sekitar dan membiarkan kondisi hutan kita rusak.
Apa yang akan terjadi ketika sebuah masyarakat tidak mau peduli terhadap lingkungan kita, dengan membuang sampah sembarangan, sungai dijadikan tempat buangan berbagai jenis limbah dan kotoran, ditebangnya pepohonan karena dianggap mengganggu pemandangan, serta berbagai alasan menyalahkan kehidupan di luar manusia untuk dijadikan komoditi bagi manusia dalam meraih kepuasan juga keuntungan dengan tidak memperhatikan lingkungan. Kemudian di daerah pegunungan; hulu sungai; hutan-hutan mulai dirambah; pepohonanan mulai ditebang untuk digantikan dengan tanaman semusim; serta lahan dikonversi menjadi perkebunan, perumahan, vila, betonisasi wilayah terbuka, dan lain-lain.
Dampaknya kita lihat apa yang terjadi ketika alam berbicara saat ini dengan adanya musim penghujan? Perlu diingat bahwa negara kita megalami musim kering dan penghujan. Serta, masing-masing mempuyai jawaban dari ulah manusia yang serakah terhadap hutan dan lingkungan tempat kita hidup ini.
Perlunya pengelolaan hutan secara berkelanjutan (sustainable forest management) dengan melibatkan masyarakat dan pihak-pihak yang terait dalam pengelolaan hutan, ekplorasi sumber daya alam yang tidak berlebihan, serta penegakan hukum dengan benar memberikan solusi bagi bencana yang terjadi saat ini. Menurut Hariadi Kartodiharjo dalam bukunya Di Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam memandang bahwa berdasarkan peraturan perundangan yang telah diberlakukan, kerangka pemikiran yang digunakan untuk menetapkan kebijakan pelestarian hutan adalah dengan menetapkan hutan (natural capital) sebagai faktor utama. Dalam hal ini hutan dikonsepsikan sebagai suatu ekosistem yang mempunyai fungsi alami serta bergantung dari tipe ekologis dan karakteristik hubungan makhluk hidup yang ada di dalamnya. (*)
Penulis Juga Tercatat sebagai
Sekretaris Jenderal Sylva Indonesia 2008–2010
Direktur Eksekutif Lembaga Garuda Sylva (Garsy) for Conservation, Environment, and Community Development
diterbitkan di harian Radar Lampung 17 Januari 2011
http://www.radarlampung.co.id/read/opini/29169-negeri-langganan-bencana-
Tidak ada komentar